Sampai saat ini, masih saja ada anggapan berkarir di dunia kepenyiaran, khususnya profesi penyiar radio, tidak memiliki prospek yang cerah. Sebagian orang masih menilai dengan paradigma lama bahwa bekerja sebagai penyiar hanyalah untuk hobby atau pengisi waktu saja. Profesi penyiar tidak bisa dijadikan sebagai sandaran hidup. Gajinya kecil, masa depannya tidak jelas. Beberapa contoh di sekitar kita seolah membenarkan anggapan itu. Mereka yang dulunya bekerja sebagai penyiar, akhirnya harus melepaskan profesi itu untuk berkarir di pekerjaan lain yang lebih “menjanjikan”. Sementara mereka yang masih tetap memegang teguh profesinya sebagai penyiar radio, nampaknya harus hidup begitu-begitu saja.
Namun di sisi lain, tidak sedikit anak-anak muda, khususnya lulusan SMU dan kalangan mahasiswa, yang tetap tertarik dengan profesi ini, walaupun setelah lulus kuliah banyak diantara mereka yang akhirnya memilih untuk mencari pekerjaan yang lain. Profesi penyiar seolah hanya dipakai sebagai batu loncatan saja. Ibaratnya, itung-itung cari pengalaman atau minimal untuk nunut ngetop.
Ini kemudian memunculkan pertanyaan, untuk apa orang harus bayar mahal mengikuti pendidikan / kursus kepenyiaran, kalau profesi penyiar tidak memiliki prospek yang bagus ? Apakah memang masih diperlukan pendidikan kepenyiaran itu ?
Kalau kita mau melihat secara jeli, factor yang membuat profesi penyiar seolah kurang menjanjikan dibandingkan profesi yang lain sebenarnya bukan terletak pada profesinya itu sendiri, tetapi factor lain di luar dan di dalam diri pribadi penyiar itu.
Yang dimaksud factor di luar penyiar adalah kebijakan perusahaan tempat di mana penyiar itu bekerja. Seperti juga mereka yang bekerja di perusahaan lain, semakin besar suatu perusahaan sudah sewajarnya semakin bagus kesejahteraan yang diberikan kepada karyawannya. Normalnya begitu.
Nah, sekarang tinggal dilihat, apakah stasiun radio tempat penyiar itu bekerja termasuk perusahaan yang sudah besar dan sehat secara financial atau perusahaan yang masih baru berdiri (ataupun sudah lama berdiri) tapi masih belum sehat kondisi keuangannya ?
Kalau ternyata stasiun radio tersebut sudah lama berdiri dan sehat secara financial, sudah sewajarnya karyawan yang bekerja di dalamnya, termasuk penyiarnya, mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik. Apalagi seiring dengan pertumbuhan perusahaan yang makin besar, dengan bertambahnya divisi maupun bidang usaha baru yang masih berkaitan dengan dunia broadcast, semakin besar pula peluang seorang penyiar untuk menaiki jenjang yang lebih tinggi lagi. Misalnya dari penyiar part time menjadi full time, naik lagi penyiar senior, menjadi produser acara, program director ataupun General Manager dan seterusnya.
Sebaliknya, kalau stasiun radio tersebut belum sehat secara financial, wajar saja kalau kesejahteraan yang diberikan kepada penyiarnya masih belum begitu bagus. Darimana perusahaan bisa membayar karyawannya kalau pemasukan iklan tidak meningkat bahkan cenderung turun tiap bulannya ? Seperti kita tahu, sumber pemasukan utama sebuah stasiun radio, dalam hal ini radio swasta, adalah dari iklan. Kalau iklan yang masuk sedikit atau bahkan tidak ada, tentunya stasiun radio itu tak akan mampu memberikan kesejahteraan yang layak bagi para karyawannya, termasuk penyiar yang bekerja di dalamnya.
Sedangkan yang ke dua adalah factor internal dari individu penyiar itu sendiri. Profesi apapun, di perusahaan manapun, dituntut kecakapan dan prestasi yang lebih baik. Semakin baik prestasi seorang karyawan, semakin besar peluangnya untuk naik gaji, naik pangkat atau mendapatkan kompensasi lebih dari perusahaan. Sementara mereka yang biasa-biasa saja, atau tidak berprestasi sama sekali, kecil peluangnya untuk mendapatkan promosi yang lebih baik dari perusahaan. Akibatnya, kesejahteraannya begitu-begitu saja, dan masa depannya menjadi suram.
bersambung
referensi http://penyiaradio.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar